DI-TII Dan Andi Selle’ di Mamasa
Beberapa
pemimpin masyarakat dan gereja gugur dalam menghadapi masa suram
menghadapi DI-TII Dan Andi Selle’ (1950-1964)
Pada
tanggal 29 desember 1949, Balanda mengakui Republik Indonesia Serikat berdiri
secara resmi.
Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dihapuskan dan berdirilah Negara Kesatuan Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa itu keadaan tanah Toraja dan Mamasa mulai berada dalam kekacauan karena adanya gerombolan DI-TII di bawah pimpinan Kahar Muzakar yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.
Abdul Kahar Muzakkar. Pendiri TII |
Untuk
mengatasi peristiwa berdarah ini, Batalion 710 dibawah pimpinan Andi
Selle’ yang berpusat di polewali ditugaskan untuk melindungi orang-orang
Mamasa dari gangguan gerombolan tersebut.
Tetapi malang bagi masyarakat Mamasa, sebab harapan justru menjadi kebencian dan penyesalan belaka. Keganasan kesatuan 710 justru lebih menghancurkan semangat dan jiwa orang Mamasa. Mereka kembali diperlakukan sebagai manusia tanpa arti, yang membuat masyarakat Mamasa bangkit dan mengirim utusan kepada pemerintah agar kesatuan 710 ditarik dari Mamasa.
Selain itu, masyarakat Mamasa juga melalui pemerintah pusat meminta agar Mamasa diberikan status Tk. II seperti daerah lainnya yang sama statusnya di sulsel pada waktu itu. Hal ini didorong oleh karena semua bekas Kewedanaan di Sulsel dijadikan daerah Tk. II tersendiri kecuali Mamasa
Jalan poros Polewali-Mamasa yang hancur dan rusak parah akibat peristiwa dengan gerombolan dan batalion 710, belum ada hasrat untuk memperbaiki pada waktu itu selama Andi Selle’ masih tinggal di Polewali bersama kesatuannya. Keadaan yang tidak aman ini berlanjut sampai tahun 1964, yang juga tercatat sejumlah penghadangan dan peristiwa berdarah sekitar poros Polewali-Mamasa dalam bentuk perampokan dan lain sebagainya.
Selain jalur demokrasi melalui utusan masyarakat Mamasa sampai ke pusat, partisipasi Gereja juga bersama masyarakat Kristen Mamasa dalam menegakkan kebenaran dan keadilah tidak pernah absen. Ini dilihat dengan adanya spontanitas orang-orang Kristen yang harus terjun ke dalam organisasi perlawanan rakyat mempertahankan masyarakat dan daerahnya. Organisasi perlawanan rakyat muncul yaitu OPR dan OPD dengan persenjataan sederhana.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pembinaan mental Kristen di seluruh wilayah Gereja Toraja Mamasa ialah mengadakan kebaktian bersama di mana-mana serta kegiatan-kegiatan lain yang bersekutu dalam menghadapi cobaan iman Kristen.
Dalam pergolakan ini, sejumlah pemimpin masyarakat dan gereja terpaksa gugur dalam menghadapi masa suram ini. Pdt. Sem Bombong gugur di Sumarorong pada tanggal 05 Mei 1959 dan Pdt J. Tupalangi’ juga meninggal pada tahun 1952 dengan peristiwa yang sama. Selain kedua pendeta yang gugur dalam masa suram itu, sekitar 120 anggota masyarakat Mamasa tercinta. Mereka gugur dan pergi demi keselamatan keluarga dan masyarakatnya, demi kelanjutan hidup kita seperti sekarang ini. Kita patut menundukkan kepala sekedar merenungkan nasib para pahlawan kita yang rela gugur demi kelanjutan hidup kita bersama masyarakat dan daerah kita.
Masa ini merupakan masa tersuram dalam kehidupan masyarakat Mamasa, masyarakat yang tidak bisa memegang senjata terpaksa menyingkir ke hutan-hutan, lalu mengadakan kebaktian-kebaktian dalam persembunyian. Di hutan, di sungai dan di lembah bahkan di gua-gua sekalipun terdengar tangis anak-anak kelaparan, sementara sejumlah orang terpaksa menghembuskan nafas terakhir di persembunyiannya dan dikuburkan di sana. Penuh kesedihan dan ketakutan!
Tanggal 10 mei 1950, semua orang eropa yang tinggal di Mamasa termasuk utusan Injil protestan, Katolik dan beberapa orang yang bekerja di perkebunan ditangkap dan diasingkan ke Tinambung dekat Majene.
Hal ini didengar oleh Markas APRIS di Pare-Pare, kemudian Komandan memerintahkan anak buahnya untuk membebaskan orang asing itu, lalu dibawah ke Pare-Pare lalu selanjutnya ke Makassar dan ditampung oleh orang-orang Belanda yang ada di Makassar pada waktu itu.
Kemudian beberapa selang sesudahnya, utusan-utusan ZCGK kembali ke negri Belanda kecuali Ds. M. Geleynse dan dr. Pilon masih tinggal di Makassar menunggu kesempatan kembali ke Mamasa. Bulan Nopember 1950 dr. Pilon kembali ke Nederland bersama Nyonya Geleynse. Ds. M. Geleynse sendiri kembali ke Mamasa pada bulan Januari 1951. Tahun 1952 Ds M Geleynse ditahan oleh gerombolan dalam rumahnya di Minake ( Malabo ), beberapa kali ia dirampok sehingga sulit untuk menetap. Bulan Desember 1952, Ds. M. Geleynse tiba di Makassar dengan satu konvoi dan kembali ke Mamasa dengan konvoi yang sama.
Tanggal 02 Januari 1954 Ds M Geleynse tiba di Rotterdam untuk cuti dan kembali tanggal 25 oktober 1954 dengan menumpang pesawat udara ke Makassar dan tiba kembali di Mamasa pada bulan Nopember 1955. Bulan Januari 1956 diperintahkan oleh pemerintah untuk meninggalkan Mamasa dan kembali ke Makassar.
Sumber
:
Buletin
Tunggal GTM menyongsong Sinode AM XIII 1986
seksi
publikasi dan dokumentasi, ketua : Arianus
mandadung
Mari luruskan sejarah yang objektif dan mencerdaskan masyarakat sebab saksi sejarah masih ada yang hidup sampai hari ini ...
BalasHapusterima kasih masukannya..
Hapusmudah2an ini bermanfaat..
Ada saksi hidup sejarah opr khususnya di Mamasa? Tolong dimuat kalau ada yang bisa mendapatkan referensinya
BalasHapussaya setuu dengan Amora Diary
BalasHapuskisah yang memiluhkAN..
BalasHapus