Kisah Bongga Karadeng dan Datu Baringan : Asal Usul Diallun (tandalangngan : dipandan)


Pada suatu ketika seorang leluhur bernama Bongga Karadeng. Ia sering keluar untuk berburu. Sekali waktu, ia tiba pada sebuah pertemuan antara dua sungai. Pada waktu itu ia bersama dengan enam orang budaknya.
  Di seberang sungai, ia melihat sebatang rotan aneh yang merambat dari dalam semak. Berkatalah ia kepada para budaknya: “Ayo kita menyeberang untuk mengikuti rotan itu. Kaitkan tombak kalian ke rotan itu untuk mengikuti alurnya yang tepat.”

 

Budak-budak itu menyeberang ke sisi lain dari sungai itu dan mengikuti rotan itu. Akan tetapi tibalah malam sebelum mereka menemukan pangkal rotan itu. “Ayo kita beristirahat di sini”, kata Bongga Karadeng, “kita dapat meneruskannya besok”.Keesokan harinya mereka mencapai pokok rotan itu. Di sana mereka membangun sebuah pondok di tengah-tengah belantara. Sementara itu, anjing Bongga Karadeng masuk ke hutan dan membunuh seekor ular sawah yang besar. “Pergilah dan cari beberapa batang bambu untuk membuat api, supaya kita memanggang ular ini dan memakannya”, kata Bongga Karadeng.

 

Pada waktu budak-budak itu sampai pada sebatang pohon bambu yang besar, mereka mendengar suara: “Tolong jangan potong bambu itu. Nenek moyang kami menanamnya. Dia yang paling kuat”. Dengan ketakutan budak-budak itu kembali ke Bongga Karadeng. “Ada apa?”, tanyanya. “Tuan, kami tidak tahu siapa yang bicara di dalam bambu.” Lalu seorang budak lainnya juga pergi ke bambu itu. Dan lagi suara itu berkata: “Tolong jangan tebang bambu…”

 

Karena semua budak sudah ketakutan, Bongga Karadeng sendiri yang pergi ke bambu itu. Ketika ia sudah sampai di tempat itu, ia melihat sebatang pohon bambu yang sebesar kendi keramik. Ia menebangnya dan seorang gadis keluar dari dalam bambu. Namanya adalah Datu Baringan. Bongga Karadeng bertanya padanya: “Dari mana asalmu?” Ia menjawab: “Mereka menyelenggarakan ritual malangngi’ di langit. Orang-orang semuanya berbahagia dan berteriak-teriak senang, tetapi saya terjatuh ketika saya mengambil sebatang bambu. Saya tinggal di dalam bambu itu.” “Marilah ke pondok.” Ketika mereka tiba di pondok, Bongga Karadeng bertanya kepadanya: “Bolehkah saya menikahimu?” “Ya,” jawabnya. Merekapun menikah.

 

Setelah itu, Bongga Karadeng sering keluar bersama budak-budaknya berburu. Lalu Nene’ Datu Baringan merindukan seorang anak. Sejak saat itu ia tidak pernah berbicara barang satu kata pun. Ia menerima apapun yang dikatakan suaminya, namun ia sendiri tidak berkata apapun. Ia pun melahirkan seorang anak perempuan bernama Bua’ Dawa. Kemudian ia hamil lagi dan melahirkan seorang anak laki-laki, Tali Bannang. Sesudah itu, ia menginginkan lagi seorang anak dan lahirlah seorang anak laki-laki bernama Rambu Roya.

 

Maka Datu Baringan mempunyai tiga orang anak, namun ia tidak pernah berbicara dengan suaminya. Ia menerima semua yang dikatakan suaminya, tetapi ia sendiri tidak berkata apa-apa. Ketiga anak itu tumbuh dewasa, seorang perempuan dan kedua anak laki-laki itu. Mereka tinggal di rumah ketika ayah mereka pergi berburu.

Terjadilah suatu hal yang tidak biasanya. Sang ibu mulai berbicara kepada anak-anaknya sesaat setelah suaminya berangkat. Ia mengatakan kepada mereka untuk tidak pergi jauh dari rumah. Akan tetapi, ketika Bongga Karadeng kembali ke rumah, ia tidak berbicara apa-apa lagi.

 

Ketika Bongga Karadeng meninggalkan rumah pada kesempatan berikutnya, ia meminta kepada budak-budaknya untuk membuatkannya sebuah kain selimut dari kulit sebuah pohon. Ia masuk ke dalam kulit kayu itu dan budak-budaknya melumurinya dengan darah babi. Mereka membawanya kembali ke rumah.

 

Datu Baringan bertanya: “Apa yang terjadi dengannya?” Budak-budak menjawab: “Ia bertarung dengan seekor anoa dan tertikam oleh tanduknya.” Datu Baringan meratap dan berkata:”Tali Bannang, Rambu Roya, Bua’ Dawa, ratapilah ayah kalian. Tetapi saya, menangisi adik laki-laki saya, ia berubah menjadi seekor ular sawah dan kulitnya berubah menjadi kulit seekor ular. Anjing-anjing ayah kalian menyimpan sisa-sisanya. Binatang penggonggong itu mengoyak-ngoyaknya.” “Oh,” teriak Bongga Karadeng, “itulah sebabnya engkau tidak mau bicara. Ular sawah itu saudaramu, bukan?” “Ya, ia adalah saudaraku. Ketika saya terjatuh dari langit, saya di dalam bambu tetapi saudaraku di luar dan berubah menjadi seekor ular sawah. Engkau telah memanggangnya dengan bambu. Itulah sebabnya saya tidak mau bicara.”

 

“Apa yang dapat kulakukan untuk membuatmu bahagia kembali?” “Pergilah kumpulkan tulang-tulangnya.” Bongga Karadeng masuk ke dalam hutan dan mengumpulkan tulang-tulang ular itu, yang ternyata adalah saudara isterinya. Kemudian diselenggarakanlah ritual kematian besar-besaran yaitu diallun. Setelah itu, nenek moyang kami Bongga Karadeng akhirnya dapat berbicara lagi dengan isterinya. 

 

Sumber : Kees Buijs (2009 : 191), diterjemahkan oleh Ronald Arulangi

 

Komentar

Postingan Populer