Legenda Bussu Lebok Alam : asal-usul penduduk Kabupaten Mamasa



catatan:
Legenda Bussu Lebok Alam, yaitu adanya bencana bussu lebokalam (air bah) dan menutupi daratan, kecuali tempat tertentu.

pada zaman dahulu terjadi air bah yang melanda penduduk dan memakan banyak korban sehingga penduduk yang tersisa pada waktu itu di bawah pimpinan  Tandayanlangi’, yang diberi gelar To Buttu Dilangi’,menemukan bekas ludah orang makan sirih di suatu tempat (ludah ini disebut berak). Ludah sirih ini merupakan jejak kelompok manusia lain sehingga mereka berusaha mencari jejak manusia lain tersebut dan berhasil menemukan sejumlah benda yang berasal dari busa air, lalu muncullah wanita-wanita cantik yang disebut Limbong Berak yang artinya kolam penuh ludah makan sirih. Kolam tersebut berlokasi di dekat Kampung Ladi, dekat Tabang/Masanda, perbatasan Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Tana Toraja, sekitar 37,8 km di sebelah timur Kota Mamasa.

Dari pertemuan kedua kelompok insan tersebut terjadilah pernikahan dan mereka kemudian mencari tempat pemukiman di sekitarnya yang disebut Ulunna Sa’dan. Tempat ini merupakan salah satu hulu Sungai Sa’dan melalui Sungai Masuppu’. Tokombong Dibura (Datu Mangira) dikawini To Buttu Dilangi’ (Tandayanlangi’) dan melahirkan sejumlah anak dan cucu. Cerita ini tercantum dalam lontar Mandar bahwa, “Pertama kali ada puang (bangsawan) di Mandar adalah turunan dari To’kombong Dibura dikawini To’Bisse Ditallang mendiami tempat bernama Ulu Sa’dan mopotta’na artinya Ulu Sa’dan menjadi pinggir daratan.” (Lontar Mandar Transliterasi: Abd. Mutalib, Makassar, 1985:34). Karena itu, lokasi tersebut bernama Ulu Sa’dan (Sungai Sa’dan) yang merupakan pinggiran laut akibat terjadi air bah, sementara wilayah pantai saat itu masih menjadi laut (meliputi wilayah Mandar, Bugis, dan Makassar). Lokasi Limbong Berak di Ladi/Tabang (sekarang wilayah Kecamatan Tabang, Kabupaten Mamasa) diperkirakan berada pada ketinggian sekitar 600 m di atas permukaan laut (dpl). Mereka mencari tempat yang tinggi untuk bermukim dan tempat itulah yang disebut Bukit Buyan Manuk, terletak di sebelah utara Tabang/Masanda dan wilayah ini disebut Ulunna Sa’dan.

Dalam perkembangan generasi selanjutnya, tepatnya generasi ke-13 sampai 17 dari keturunan Tandayanlangi’ tersebut, terjadilah model bangunan rumah yang memiliki tingkatan, mulai dari Banua Toban menjadi Banua Pon, Banua Longkarrin, Banua Lento Patondok, Banua Rapa’, dan Banua Sura’ (rumah ukir). Kemudian, pada generasi ke-21, lahirlah suatu tokoh bernama Sulo Allo bersaudara dan pada generasi ke-22 lahirlah tokoh bernama Pa’doran bersaudara. Pa’doran lalu kawin dengan Datu Arruan (Emba Datu). Mereka mendiami Bukit Pokko’ dan Koa di sebelah utara Tabang dan manusia semakin berkembang. Pada generasi ke-23 tampil sembilan nama terkenal dan mendiami pemukiman baru tersebut, antara lain:

  • Bobolangi’ mendiami Kadundung, Belau (sekarang wilayah   Kecamatan Pana’, Kabupaten Mamasa).
  • Batara Goa (Lando Belue) mendiami Kalottok, lalu ibu ini mencaricucunya di bawah air sungai dan terdampar di Gowa(Makassar).
  • Batara Tau (To’songka) mendiami Buttu Ullin Bittuang.
  • Usuk Sambamban (Paterengan Manuk) mendiami Karonaga,Sa’dan/Tana Toraja.
  • Bura Padang mendiami Dambu/Balla (sekarang wilayah Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa).
  • Lomben Susu mendiami Loke/Kalumpang (wilayah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat).
  • Pongka Padang ke Tabulahan (sekarang wilayah Kecamatan Tabulahan,Kabupaten Mamasa).

Kelompok tersebut, kecuali kelompok Bobolangi dan kelompok Batara Goa, membagi wilayah kekuasaan melalui pertemuan di daerah Tandung (Tandunganna Kada Nenek) tempat mereka berasal, yaitu dari wilayah tujuh aliran sungai besar. Ketujuh aliran sungai yang dimaksud adalah:

1) Sungai Masuppu’, 
2) Sungai Maulu’, 
3) Sungai Sa’dan, 
4) Sungai Mamasa, 
5) Sungai Mambi, 
6) Sungai Hau,
7) Sungai Karama 

oleh karena itu mereka kemudian disebut Tau Pitu di Ulu Sa’da. Perkembangan selanjutnya, pemukiman bertambah, namun bagian barat lebih banyak kosong. Suatu ketika tokoh bernama Pongka Padang di Tabulahan bertemu dengan bidadari Indo Cina (Cina Ray) yang perahunya terdampar di Bukit Kapussaan, maka kemudian tempat itu dikenal dengan Torige’ne (Belanda menulis Torije’ne). Di daerah Tabulahan yang sebagian daerahnya masih kosong terbentuklah pemukiman baru dan sebagian berkembang ke daerah pantai.

Adapun seorang tokoh yang bernama Lombensusu bertemu dengan Torigandang. Mereka kemudian mendiami Lohe dan berkembang ke utara Kalumpang (wilayah Kabupaten Mamuju) dan Seko Rongkong yang juga masih kosong penghuninya. Sementara di daerah Pana’, Bua Kayu, dan Bittuang sampai di Tana Toraja, perkembangan penghuninya lebih pesat dari turunan Ulu Sa’dan  (Demmaroa’, 2011)

sumber:
Demmaroa’. 2011. Dasar Adat Istiadat dan Pengembangannya di Kabupaten Mamasa, Lembaga Pelestarian Budaya dan Lingkungan
Hidup Indonesia-Mamasa ( LPBLH-IM), Mamasa Sulawesi Barat.

Komentar

  1. Mantap sekali, tapi semakin banyak membaca sejarah, saya semakin bingung, soalnya mempunyai versi yang bebrbeda- beda. dan khusus sejarah di atasa, kenapa sangat jauh berbeda dengan sejarah2 dari Toraja yg sering sya baca.

    BalasHapus
  2. hehe..
    saya juga bingung bro..

    artinya sejarah Mamasa memang perlu diluruskan...
    takutnya semakin lama sejarah kita makin kabur..

    BalasHapus
  3. Di Toraja tepatnya di Kecamatan Saluputti Malimbong, ada satu kampung namanya Pokko'. Di Pokko' ini ada sebuah Tongkonan yang ditempati Batu yang konon adalah bernama Pa'doran.
    Batu tersebut masih ada sampai sekarang didalam keranjang.

    Saya kurang tau, apakah hanya secara kebetulan nama tokoh (Pa'duran) dan nama tempat (Pokko') sama.

    Hanya saja perbedaanya Pa'doran di Mamasa Menikah, sedangkan Pa'doran ala Toraja tidak menikah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer