Mayat berjalan di Mamasa

Tak seberapa mudah melacak kebenaran cerita tentang mayat berjalan ini. Di kawasan Mamasa sendiri, cerita semacam itu hanya diomongkan tanpa pernah didokumentasikan. Sama halnya dengan cerita tentang asal usul nenek moyang masyarakat  Mamasa, misalnya, hanya tergali lewat tuturan dari mulut ke mulut tanpa bukti tertulis. Betapapun, semuanya diyakini masyarakat Mamasa sebagai sumber yang dianggap benar: Sesepuh masyarakat menuturkan segala latar belakang masyarakat Mamasa dengan merujuk catatan buatannya sendiri, itu pun hasil tanya sana-sini ditambah cerita dari ayah dan kakeknya dulu. Begitu pula naskah Mamasa (Kondosapata Waisapalelean)

Dalam Informasi Sejarah, Budaya, dan Pariwisata karya Arianus Mandadung (1982), merujuk pada informasi lisan secara turun-temurun dilengkapi sejumlah catatan milik ayahnya yang dulunya aparat kecamatan. Cerita tentang mayat berjalan, memang diakui benar adanya. 

Kepakaran orang Mamasa dalam  ilmu menjalankan mayat bisa ditarik jauh ke belakang, ketika sarana pengangkutan belum ada, hutan-hutan di sepanjang Polewali - Mamasa sejauh 92 km hanya bisa dibelah sambil berjalan kaki. Ketika itulah orang Mamasa sudah merantau, dalam kelompok. Tak cuma berbekal makanan, minuman, kondisi fisik dan mental yang prima saja, melainkan juga ilmu dalam.  Begitulah, siapa pun yang berani merantau ke negeri orang ketika itu, pastilah dia orang berilmu. Bekal khusus ini bukan hanya untuk menangkal segala bahaya, tapi juga diterapkan ketika yang bersangkutan menemui masalah. Bila salah seorang dari kelompok perantau itu meninggal, sesuai dengan kebiasaan, jenazahnya harus dikuburkan di tanah kelahirannya. Namun, sarana angkutan tidak ada. Kalaupun dipikul juga terlalu berat, lantaran jarak tempuh terlalu jauh. Dengan ilmunya, perantau mampu me-nyuruh mayat kawannya tersebut untuk berjalan sendiri, kembali ke kampung halaman, sementara si empunya ilmu berjalan mengiringinya dibelakang. Mayat itu akan berjalan tegak, tapi sendi-sendi kaki dan tangannya mati. Ekspresinya pun tidak ada. Kira-kira mirip robot berjalan. Sementara itu ada pantangan yang mesti dihindari agar tidak repot. Mayat itu tidak boleh ditegur, jadi lebih baik si pengiring mayat menghindari keramaian atau pertemuan dengan orang-orang.  Maka sudah dimaklumi banyak orang di sekitar Mamasa, agar tak menegur jika bertemu mayat berjalan macam ini. Konon, jika ditegur, daya hipnotis yang membuat mayat mampu berjalan itu lenyap dan mayat terkulai roboh, sehingga perlu waktu untuk menjalankannya lagi.

Kejadian semacam itu bisa dikatakan tak ada lagi di masa-masa sekarang. Sedikit yang masih tersisa sampai sekarang adalah kemampuan memerintahkan  ternak potong yang sudah mati untuk berjalan.

Kerbau dan babi yang mau disembelih, dikasih makan dulu oleh si orang pandai. Setelah mati, makhluk ini berdiri dan jalan hanya dengan satu tepukan. Kejadiannya Cuma terjadi  selama beberapa menit.  Kemudian, dengan satu tepukan tangan pula, binatang itu terjatuh  dan siap dipotong-potong.

Begitu pula kejadian di tempat lain. Ketika hewan kurban pesta kematian dibagikan, salah seekor di antaranya berdiri dan berlari ke tempat tersembunyi. Orang dengan mudah menyimpulkan, ini pasti buah kerja seseorang yang menginginkan pembagian lebih. Kejadian semacam tadi masih terjadi sesekali. Malah ada kalanya jadi atraksi yang ditonton para pelayat, bukti bahwa kegiatan begini makin lama makin langka. Sama halnya dengan orang yang punya kemampuan menjalankan  mayat. Di Mamasa sekarang tinggal segelintir saja.


sumber :

majalah intisari

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer